Penyelenggaraan PON XVII Riau Terganjal Persoalan Hukum
Tim Kunker Spesifik Komisi X DPR ke PON XVII Tahun 2012 Riau menemukan terdapat persoalan hukum sehingga menghambat pembangunan sarana dan prasarana pelaksanaan PON XVIII Tahun 2012 di Provinsi Riau .
"Semestinya spirit yang muncul bukan persoalan hukum, ini menyebabkan delay-nya waktu penyelesaian pembangunan berbagai sarana prasarana PON sebagai akibat persoalan anggaran di daerah itu sendiri,"jelas Anggota Komisi X DPR Dedi Gumelar saat meninjau pelaksanaan PON XVIII Riau baru-baru ini.
Menurutnya pengertian kesiapan seharusnya paling tidak minimal dua bulan sebelum hari H. selain itu, biasanya dilakukan test event untuk mencoba apakah suatu venue betul-betul layak digunakan baik secara teknis maupun materi dan harus diakui oleh federasi olahraga yang bersangkutan "Seharusnya penyelenggaraan suatu event olahraga apapun standarnya harus internasional,"ujarnya.
Dia menegaskan, PON jangan dianggap tarkam ( antar kampung) saja. "Ini adalah justru sebuah media untuk bagaimana melahirkan bibit-bibit baru dan atlet-atlet Internasional,” jelas Dedi.
Politisi PDI Perjuangan ini prihatin terhadap berbagai permasalahan pada penyelenggaraan PON di Riau ini, karena itu yang harus dibenahi bukan hanya persoalan di lapangan dimana secara operasional bahwa Gubernur Riau dan jajarannya tidak berhasil menyelesaikan dengan baik. Akan tetapi, lanjutnya, lebih kepada persoalan yang sangat komprehensif yaitu visi tentang olahraga dan paradigma olahraga kita sendiri.
Dedi melihat penyelenggaraan pekan olahraga di Indonesia baru sebatas yang namanya kegiatan atau sebuah proyek yang harus diselesaikan karena memang ada anggarannya, bukan suatu gerakan yang memiliki spirit dari olahraga itu sendiri.
Dijelaskan Dedi , bahwa suatu daerah yang menyelenggarakan atau menjadi tuan rumah PON, idealnya paling tidak menjadi tiga, lima atau sepuluh besar. "Sebabnya apa, karena daerah yang pernah menjadi tuan rumah PON berarti dia memiliki infrastruktur sarana prasarana olahraga yang lengkap,"ujarnya.
Logikanya, paparnya, suatu daerah harus mampu melahirkan atlet-atlet baru dengan berbagai cabang, akan tetapi justru banyak infrastruktur pasca PON yang tidak terawat hanya karena persoalan dana APBD yang tidak mencukupi untuk pemeliharaan.
Dedi mengingatkan ketika 1930 Almarhum Suratin sebagai pahlawan olahraga, Indonesia membentuk PSSI sebagai bentuk perjuangan. “Walaupun hanya satu cabang, itu sudah merupakan gerakan kebangsaan pada saat itu. Bagaimana PSSI saat itu dijadikan alat kejuangan dan perjuangan sebagai alat pemersatu bangsa untuk bersatu agar memiliki kekuatan dan bermartabat,” paparnya.
Terkait PON, Dedi menambahkan di era Soekarno saat PON tahun 1948 pertama dilaksanakan, kemudian sebelum 1962, dan 1963 dibangun perkampungan atlet di Senayan, "Ini merupakan salah satu bentuk visi kebangsaan, visi dimana olahraga bukan hanya sekedar mencari keringat atau sekedar kegiatan yang ada anggarannya, tapi merupakan sebuah gerakan kebangsaan,"ujarnya.(sc)